Aktifitas sebuah kota, baik di kota besar atau kecil tak lepas dari angkutan kota, biasa dikenal dengan ‘angkot’. Sebuah sarana penunjang mobilitas, sarana perjalanan para penduduknya dalam segala aktifitas. Namun, justru alih-alih mobilitas juga yang kini perlahan menggerus keberadaannya, juga penumpangnya. Mereka yang bermobil seolah terbuai kenyamanan dan dinginnya AC mobil. Mereka yang bersepeda motor juga terbuai dengan kebebasan dan kelihaiannya meliuk-liuk. Namun, diantara keduanya terselip juga sebuah kendaraan, yang mencolok, yang berwarna warni, yang kini kian sepi, ya! Angkot itu sendiri.
Jujur saja gue awalnya termasuk golongan yang tak peduli, dan justru mencaci keberadaannya. Mencaci kelakuan supirnya yang berhenti seketika dan seenaknya. Gue juga sedang terbuai dengan kebebasan dan kelihaian, kelincahan sepeda motor, bahkan kenyamanan mobil.
Namun, pagi tadi ketika ga sengaja gue selip laju angkot yang kian lambat, kian ingin mendapat cacian. Iba muncul dalam diri dimana hanya satu dua gelintir penumpang didalamnya. Sang Kenekpun terlihat memegang duit beberapa ribuan tipis dan belum membentuk tumpukan. Muka sabarnya melebihi muka anak kost yang kehabisan duit di tanggal tua, sabar menunggu penumpang melambaikan tangan di pinggir jalan, sabar duduk di kursi kecilnya dalam kesepian penumpang. Mungkin dia ga tahu mereka para penumpang sedang asyik di mobil barunya, atau motor kreditannya. Iming-iming perusahaan leasing sekarang semakin menggila, dimana-mana terpampang propagandanya. “Hanya dengan 2 juta, bisa bawa pulang mobil atau motor”. Saya takut jika propaganda seperti itu juga dilakukan di instansi pendidikan. “Hanya dengan 2 juta bawa pulang ijazah”. Ribet juga kan jadinya. Seakan kita diajari untuk bisa membeli tetapi kita tak diajari untuk bisa berbagi.
Dibalik semua itu, supir angkot adalah orang yang paling awal berangkat dan paling akhir pulang. Berangkat di pagi buta dan pulang hingga petang menjelang. Bau di dalam angkot pun ikut berputar seperti mengalami siklus, dari bau ikan para penjual ikan, bau parfum labil anak sekolahan sampai bau keringat para penumpang yang lelah bekerja, seperti itu juga sampai besoknya. Ketika sampai di rumah, mungkin saja mereka si supir angkot mendapati anaknya yang sudah tidur, sejak belum bangun sampai tidur kembali. Gue harap Tuhan selalu memberi keberkahan kepada mereka.
Berbeda dengan kendaraan bermotor yang semakin padat, namun rasio perkembangan jalan tak sepadan. Angkot, terutama yang berwarna-warni sepertinya tak mungkin plat nomornya akan berakhiran 3 huruf, seperti mobil dan motor yang semakin menggila keberedaannya di kota-kota besar. Bertambah semakin banyak juga propaganda-propaganda yang menempel pada angkutan umum. Kadang khayalan konyol gue berpikir dan bertanya, berapa harga yang harus dibayar untuk mempropagandakan nama orang tersayang. Pasti keren namanya terpampang di setiap perjalanan. *meringis*
Ngomongin soal plat nomor, lagi-lagi gue teringat almarhum ‘papah’ gue. Dimana setiap mobil yang beliau gambar pasti diberi plat nomor nama gue – D 1 4 N. Namun gue selalu nambahin huruf Y di tengahnya. Dan dengan senyum bersahajanya ‘papah’ gue selalu menerangkan bahwa ga boleh ada huruf di tengah plat nomor. Dan sekarang perkembangan 3 huruf di belakang plat nomor sangat mendukung impian gue sejak kecil, mobil gue nantinya bisa gue kasih plat nomor D 1 YAN. Keren dan agak mahal sepertinya. Amien saja, semoga.
‘Papah’ gue adalah ahli gambar nomor satu menurut gue. Busnya pun beliau sendiri yang mendisain, dan hasil dari olah software disain di sebuah perusahan karoseri di Ungaran, Semarang, yang sudah jadi ternyata kalah, hanya menang pewarnaan dan terlihat lekukan cirikhas software semacam AUTOcad. Setiap gue melihat gambar rumah atau mobil yang keren, gue pasti meminta ‘papah’ buat ngegambarin. Esoknya waktu dilihat temen-temen di sekolah, sekolah dasar tepatnya, dengan bangga gue bilang itu karya gue dan selalu ngeles tiap didaulat menggambar serupa. Hmmm, kesombongan di masa kecil yang indah.
Kembali soal si ‘warna-warni’, secara teori mereka diciptakan untuk mengatasi kemacetan dan mengakomodir perjalanan penduduk. Mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Karena kembali lagi soal kapasitas, jalan tak seimbang dengan kendaraan. Sudah ada juga kota-kota yang divonis akan mengalami KEMACETAN TOTAL pada beberapa tahun kedepan. Awalnya ketika dalam macet bisa dengerin 1 lagu, sekarang bisa sampai 1 album, gawat lagi kalo bisa 1 DVD, atau 1 memory card 16GB. Mungkinkah? Who knows.
Andai saja mereka yang nyaman menggenggam setir mobil, mengalihkan genggamannya pada gantungan-gantungan bis kota. Mereka yang nyaman dengan gas dan pedal rem beralih mengayuh pedal sepeda dengan bel ‘kring-kring’nya. Untuk perjalanan dalam kota, sepertinya bukan hal yang mustahil dilakukan. Andai juga jika para maling, copet, dan pengamen tak bermoral, bahkan pemerkosa di angkutan umum mengalihkan profesinya, syukur lagi kalau bertaubat lalu mengisi setiap surau dengan pengajian di kampung mereka. Bisa saja lagu yang sampai satu album tersebut, tanpa lanjut ke lagu berikutnya, sebelum melewati reff,kita sudah bisa lepas dari kemacetan. Melewati jalanan penuh pepohonan nan hijau rindang yang bebas banjir ketika hujan lebat. Jalanan yang rapi, jalanan yang ga ada saling serobot ga karuan di dalamnya.
Semoga ini semua bukan sekedar mimpi dan angan belaka ya, semoga.
Mungkin tempelan propaganda pada angkot mereka bisa mengatasi pusing kepala mereka ketika sepi penumpang, hmmm...