Malam itu mendekati sekitar pukul 21.00 WIB di median trotoar Jalan Pahlawan, Semarang, ada yang membuyarkan candaan gue bersama teman-teman ketika bermaksud untuk sedikit menghabiskan malam mengisi akhir pekan. Tiba-tiba anak kecil datang dengan riang seolah tanpa beban, sebuah semangat yang pantas ditiru, mereka yang tak pernah lelah bermain dan berlari, tak peduli sesungguhnya betapa bobrok negeri ini.
"Mas ganteng!", ujar dia sambil mengelus dagu gue.
"Berani sekali anak ini", pikir gue dalam hati terkaget.
Rasa ingin tahu gue lebih besar melihat perawakannya yang riang dengan badan cukup gede yang kalau orang Jawa bilang 'ginuk-ginuk'. Gue belum bisa nentuin dia cowok atau cewek soalnya ada anting emas yang menggantung di kedua telinganya yang tertutup helaian rambut lusuh seperti terlihat belum mandi sedari pagi. Gue memutuskan untuk mencari jawaban rasa ingin tahu gue, dan gue malah lupa nanyain siapa namanya. Oke, Sebut saya dede'.
D: "Hayoo kok jam segini belum pulang?"
DD: "Iya ngamen mas", sambil cengengesan.
D: "kamu sekolah ga?"
DD: "Iya sekolah kelas 3"
Gue lihat ada beberapa duit ribuan di genggaman jari2 kecilnya. Segera gue buka dompet gue dan gue ambil juga 5ribuan. Namun, ga seketika gue kasih. Dalam matanya seperti kegirangan dan ingin segera bernyanyi.
D: "kalo sekolah tau pancasila ga? sila pertama apa?"
DD: "mmmmmm.. ", awang-awangnya memikir jauh seperti tak pernah terlintas kata itu.
D: "kalo presiden Indonesia siapa tau ga?"
DD: "mmm gak tau", dengan tawa seolah memang ga mau tau.
Mungkin dengan begitu dia masih punya kebebasan bernyanyi di setiap trotoar yang menjadi tempat bermain terluasnya, ketika gedung-gedung berdiri megah dengan ijin sogokan, menggerus tiap sudut lapangan sepakbola di kampung kecil mereka.
Gue elus kepalanya lalu gue beri duit yang dari tadi udah makin lepek di genggaman. Ada yang bilang memberinya duit itu ga mendidik. Gue ga peduli soalnya lebih baik memberi daripada uda ga memberi, ga mendidik pula. Karena gue menganut paham 'siapa yang menabur pasti akan menuai'. Lalu dia pun pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Mungkin ga diajari atau memang hujan sudah mulai turun dan membesar kala itu.
Dalam benak gue pun, hujan membesar, hujan meteor malah, tamparan keras bahwa masih ada anak kecil yang konstruksi kodratnya berubah bukan lagi menjadi anak kecil. Gue, sebagai seseorang yang pernah mengalami masa kecil, masa kecil yang bisa dibilang cukup bahagia, dimana Almarhum 'papah' gue selalu membelikan mainan walaupun dulu gue belum paham untuk hanya meminta sebuah mobil-mobilan. He was the best father I ever had. Mungkin, semua kemampuan gue adalah turunan keahlian dari 'papah' dan dia adalah sosok yang selalu ada dalam hati.
Disisi lain, masih ada juga anak kecil yang harus mencari uang dikala anak kecil yang lain justru sedang asyik bermain Game Console masa kini yang sama sekali ga memperbaiki tingkat kecerdasan mereka. Atau justru anak kecil rumahan yang sudah disuruh ibunya minum susu lalu harus tidur sebelum jam 9 malam. Seorang anak kecil di mata seseorang yang pernah mengalami masa kecil, memang seharusnya merasakan bangku pendidikan dan bermain bersama teman sebayanya serta menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga lalu sedikit belajar ketika senja memang telah menggantikan tugas mentari.
Gue lagi-lagi teringat omong-kosong UUD 1945 pasal 34 yang berbunyi, "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara". Bukan dipelihara untuk makin Banyak!!!
Mungkin kalau para fakir miskin menyogok mereka sang pembuat Undang-Undang, baru akan terlaksana kenyataannya, seperti para cukong rokok yang dengan leluasa membayar untuk menghapus ataupun melaksanakan Undang-Undang demi kepentingan mereka sendiri. What the fuck you are!
So, Who's to blame??
President?
Teacher?
Parents?
You? Or Me?
Or that half little boy half little girl named “Dede'”??
Anak Kecil di Mata Seseorang yang Pernah Kecil
Diposting oleh
Diyan Setiawan
|
Minggu, 04 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar