Menjelang dua hari setelah ketok palu keputusan kenaikan
BBM, seperti biasa terjadi pro dan kontra atas nama rakyat. Berbagai tindakan
sinisme yang berujung otot-ototan antar kedua kubu pendukung pemenang dan ‘pecundang’
di pemilu presiden, beberapa kekerasan dan pembakaran di berbagai daerah,
sampai aksi telanjang yang untuk melihat (walaupun dibayarpun) gue enggan.
Beberapa aksi kebodohan dan kekerasan yang gue sesalkan
adalah mereka yang melakukannya atas nama rakyat namun malah menimbulkan
beberapa kekacauan.
Sebenarnya apa sih definisi ‘rakyat’? Mereka yang dengan
gagah bawa motor sport namun langsung
teriak, ramai-ramai berdemo, menyalahkan kebijakan dan mengaku tidak mampu jika
terjadi beberapa kenaikan? Orang-orang yang ngakunya berpendidikan tapi dengan
bodohnya melakukan berbagai tindakan pembakaran? Orang-orang berdasi dan rok
span di atas lutut? Atau tukang nasi kucing? polisi cepek? Atau banci pengamen
yang ternyata punya salon? Atau masih banyak lagi sepertinya.
Satu tahun gue bekerja membangun desa di sebuah sudut
terpencil di sebuah Kota yang adem dan damai di Jawa Tengah dimana senyum dan
kekeluargaan adalah hal yang murah, lalu
melakukan perjalanan dari ujung Jawa bagian Barat sampai ujung Lombok, dari
ujung anyer sampai pedalaman Sade, dari pelosok desa yang jika malam tiba hanya
beberapa lampu minyak yang menyala, sampai di pinggiran kota yang hanya kokok
ayam penanda waktu subuh yang meredakan hingar-bingarnya .
Banyak pelajaran dari berbagai perjalanan, seperti ada
pepatah mengatakan “jalan-jalanlah, maka akan kamu lihat dunia bercerita”. Itu
pepatah gue. Hehe
Gue menemukan definisi ‘rakyat’ yang sebenarnya dari
perjalanan. Rakyat yang sebenarnya adalah mereka yang bertani, yang tak terasa
tak mengeluh akan pecah-pecah kakinya karena jauhnya berjalan dari gubug ke
ladang; mereka yang menenun, yang tak pernah berkata ‘fiuh’ ketika kaki sudah
lelah mengayun; para manula yang masih menjual makanan, mainan, alat2
perabotan, berkeliling dari satu angkutan ke angkutan, mereka warga desa yang
pasrah saja apapun kebijakan pemerintahan. Rakyat yang sebenarnya adalah mereka
yang tidak mengaku rakyat, yang begitu sangat percaya dengan pejabat-pejabat
yang menjanjikan daulat.
Namun, apakah masih ada beberapa tikus-tikus berdasi yang
karena kepentingannya, rela mengorbankan harapan ‘rakyat’? Tega.
Apakah masih ada beberapa yang masih meminta, memiskinkan
diri, berteriak seakan sebuah kebijakan adalah akhir dunia? Tidak bersyukur.
Kebijakan sudah dibuat, tinggal pembuktian benarkah ada ketulusan
dari mereka para pembuat? Juga kesadaran dari kita sebagai pencentang
pelaksanaan janji-janji atas nama rakyat.
Masyarakat Desa, Masyarakat Kota, mari wujudkan satu senyuman yang menyenangkan