“My faith in humanity
restored”.
Kalimat itu yang terlintas saat saya sedang buru-buru lalu
naik tukang ojek-gondrong-bertato yang kalau di film-film dia pantasnya jadi musuh
bertelanjang dada yang kepalanya bisa berasep musuhnya pendekar yang naik elang.
Waktu itu saya naik ojek yang lumayan jauh dari kantor, dan
karena sedikit gerimis dan waktu ngantor pertama harus membuat kesan baik
dengan datang sepagi mungkin maka siapapun tukang ojeknya saya naik aja.
Akhirnya dapatlah si mas-mas gondrong bertato itu yang saya kira bakal nyasarin
atau muter dulu dengan jarak terjauh biar argonya mahal. Laaah...
Tapi seperti biasanya, seperti orang2 mainstream kebanyakan
bahwa prasangka hanyalah prasangka. Pas sampai di kantor dan mau saya bayar si
tukang ojek justru gak punya kembalian dan dengan senyum yang 180 derajat seremnya
dibanding tatonya, dia malah mengikhlaskan dan mau cabut aja.
Saya gak rela, saya merengek sambil injek-injek tanah, terus saya tarik-tarik
lengan bajunya yang rada kucel itu . Eh! Salah, gak pake acara beginian.
“nanti saya beliin pulsa aja ya, pak”. Itu yang saya bilang
sembari mengacungkan handphone buat
membiarkan dia menuliskan nomornya.
“iya pak, terima kasih banyak pak”. Sahutnya dengan senyum
riang tapi palsu. Hehe asli ding.
Yah, sedikit kesan awal yang baik di kota yang katanya penuh
debu polusi ini
Sebenarnya banyak kebaikan-kebaikan atau rasa kemanusiaan dalam
kehidupan seperti kernet bus kota ekonomi yang masih mau mengembalikan uang
yang kelebihan, orang yang baru kenal yang mau mengantar kita yang belum tahu ke
tempat tujuan, nenek tua penjual nasi yang mau menggratiskan orang-orang
jalanan yang kelaparan, bapak penjual mainan yang mau memberikan barang dagangannya
pada anak kecil yang merengek yang orang tuanya tidak punya uang, senior-senior
bersahaja di kantor yang tak pernah merasa bahwa ‘dia sudah lama maka dia yang
berkuasa’, pacar yang bisa menerima apa adanya bagaimanapun masa lalu kita
(oke, ini curhat ya :D) dan masiiiiiiiih banyaaaaaak lagiiiiiiiiiiiii... yang terkadang terpinggirkan oleh kenegatifan yang
di-blowup besar-besaran oleh media.
Orang-orang pun sudah mulai tidak malu untuk melakukan
hal-hal yang memalukan seperti yang tadi pagi saya dengar sewaktu minum teh dan
makan cemilan-cemilan ringan sebelum memulai pekerjaan bahwa ada teman kantor
yang suaminya sempat mergokin seorang Polisi yang mau disuap secara terang-terangan,
juga ada pula teman kantor yang pernah mendapati seorang dosen dari universitas
ternama di Indonesia sedang blak-blakan jual beli nilai di salah satu Coffee Shop di salah satu mall di
Jakarta... Aih! Hukum dan pendidikan seperti tercoreng....
Kita sama bangsa
sendiri jadi seperti sedang menjalin hubungan LDR dimana yang bisa kita lakukan
hanya percaya, berprasangka baik, dan memulai kebaikan dari diri sendiri.
Kesimpulannya ya kembali lagi bahwa di dunia ini pasti ada
buruk jika ada baik, pasti ada rendah jika ada tinggi, pasti ada yang malas
jika ada yang sukses, pasti pula ada kelemahan jika ada potensi. Masalahnya, sudah
fokus pada yang manakah kita?