May Day... May Day...
Sejak pagi saat mentari mulai menampakkan diri, muncul berbagai teriakan-teriakan menyebarkan kata-kata tersebut. Yang gue tahu istilah 'May Day' adalah semacam kata ganti bagi peringatan Hari Buruh Internasional yang diperingati tiap tanggal 1 Mei. Sejarahnya pada tahun 1800-an berawal dari unjuk rasa besar-besaran di Amerika Serikat dimana para pekerja menuntut untuk dipekerjakan hanya 8 jam sehari (pada masa itu kerja mereka bisa sampai 20 jam sehari). Tiga tahun setelah terjadinya unjuk rasa yang memakan banyak korban para pekerja, maka melalui sebuah kongres di Paris, tanggal 1 mei ditetapkan menjadi Hari Buruh Internasional.
Di kamar yang cukup luas berwarna dinding dominan hijau, yang dipojokannya berdiri perabotan-perabotan jaman dulu, lalu di satu sisi dinding tergantung cermin vintage polesan ulang yang masih kinclong, beserta di salah satu sisi pojokan terdapat dua meja. Satu tempat PC dengan monitor jaman SMP yang masih bisa diandalkan sampai sekarang, dan satu lagi meja kosong untuk sandaran laptop lengkap dengan koneksi LAN. Disinilah gue menghabiskan banyak waktu saat pulang melepaskan diri dari penatnya perkuliahan dan kehidupan perkotaan di Semarang, yang walau sedikit rumit tetep gue cinta tiap jengkal kerumitannya. Ironisnya, sejak pagi hanya dari layar kecil pemberi informasi, BlackBerry, saja gue sesekali memantau informasi 1 Mei. Kelenjar ingus yang sedang giat berproduksi juga berkontribusi dalam kemalasan hari ini. Dan di kamar gue gak ada TV memang. Gue selalu streaming terutama kalo nonton bola, karena internet sungguh bisa diandalkan.
Dilihat dari sejarah May Day sendiri, para buruh identik dengan kerja yang begitu berat dan dengan upah yang tak sebanding dengan pekerjaannya. Di linimasa Twitter, seperti halnya masalah tahun-tahun sebelumnya, yang belum terselesaikan, para buruh meminta gaji yang layak. Karena kebutuhan mereka bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga anak istri. Memang kita semua bisa memilih mau jadi apa kita dengan pekerjaan yang kita miliki. Namun, tidak semua pohon juga menghasilkan bisa buah, tetap ada yang jadi pengusaha tetap ada pula yang jadi pegawainya. Dan saya rasa, syarat keduanya sederhana, saling melengkapi dan memenuhi. Buruh sudah sulit seharusnya tak perlu dipersulit, apalagi ditambah berbagai isu menyedihkan yang menggambarkan kebobobrokan negeri ini.
Namun yang mencengangkan, dibalik penggembar-gemboran kesetaraan masih saja perbedaan kelas-kelas di suatu tempat tertentu. Kemarin sewaktu mengantar temen gue untuk check-up di salah satu rumah sakit, di lobi bangku ruang tunggu gue duduk. Disana ada bermacam-macam orang dengan macam-macam permasalahan kesehatan yang ingin disembuhkan. Gue duduk tepat di depan loket registrasi dan pembayaran. Terlihat seorang ibu dengan raut wajah risau dan gelisah mondar mandir, dia bersama satu anak perempuan belia dan satu balita yang digendong neneknya. Kemana suaminya? ikut persiapan demo mungkin?
Terdengar jelas sekali perbincangan ibu tersebut dengan salah satu pegawai rumah sakit, dimana intinya dia harus meng-opname balita tersebut sedangkan ruang yang tersedia hanya ruang kelas 1. Ibu itu makin panik, gue hanya gak tega dan sesekali mengelus dada untuk berdoa untuknya. Sesekali gue melihat ke balita yang digendong neneknya tersebut, dia menghadap ke belakang sementara neneknya menggoyang-goyangkan badan dan sesekali menepuk-nepuk pantat kecilnya. Dia terdiam lucu, sesekali memandang gue dengan mata nanar berbinar. Gue tersenyum, dia tetap diam lugu dengan mata tetap berbinar, gue yakin matanya memantulkan kesembuhan untuknya kelak.
Mendadak gue jadi tahu gimana perasaan menjadi seorang ayah. Seorang yang berusaha memilin tulang dan otot dengan perasan keringat hanya untuk kebahagiaan anaknya. Kelak, gue merasa juga akan punya seorang gadis kecil, yang di pagi hari nanti gue ikatkan tali sepatunya pada hari pertama dia sekolah, yang mencium tangan sebelum melangkahkan kaki kecilnya ke dunia yang baru, yang ketika dalam malam yang sama gue pulang dia bergegas menghampiri, dan bilang kepada kamu “Ibu, ayah pulang!”.
Ketika anaknya sakit, seorang ayah baik itu buruh atau pengusaha, bisa jadi memeras keringat untuk menghasilkan keringat. Jadi, kita harus benar-benar menghargai mereka. Mereka bekerja untuk membayarkan biaya pengobatan anaknya hingga sembuh. Memeras keringat untuk menghasilkan keringat anaknya, karena kata nenek gue dulu sewaktu gue sakit lalu berkeringat, tandanya akan sembuh. Kata orang dulu pula, ketika dulu waktu kecil kita sakit itu adalah tanda bahwa kita akan beranjak dewasa. Orang dulu memang aneh, tapi kadang ada benarnya. Karena, untuk menjadi dewasa, kita harus merasakan 'sakit' terlebih dahulu. Dengan begitu, atas pelajaran yang diperoleh, kita cenderung untuk menyayangi, bukan menyakiti serta membenci.
Dibalik mereka, para ayah yang memeras keringat untuk menghasilkan keringat, kita kadang justru malas untuk berkeringat. Melangkah untuk mengganti saluran TV tanpa bantuan 'remote', melangkah hanya untuk beli sesuatu di luar rumah, melangkah sejenak ke tetangga mengabarkan keadaannya, dan langkah-langkah kecil yang kita tinggalkan. Seakan kemajuan teknologi sudah mengganti langkah-langkah nyata kita. Ketika langkah kecil berkeringat saja kita sudah enggan melakukan, bagaimana nanti ketika kita sudah melangkah di luar yang mengharuskan kita untuk melakukan langkah-langkah besar demi hal-hal yang besar?
Oh iya, selang setelah sekitar setengah jam kemudian doa ibu itu di dengar. Si balita kecil bermata nanar tersebut sudah dipasang diberi suntikan dan cairan infus pada lengan kecilnya. Si ibu menggendong dia bersama seorang perawat rumah sakit menuju kamar inap untuk si balita.
Semoga cepat sembuh ya, nak. Cepat berkeringat.