Phenomenal Engineer

Phenomenal Engineer

Rakyat adalah Mereka yang Tidak Mengaku Rakyat

| Kamis, 20 November 2014


Menjelang dua hari setelah ketok palu keputusan kenaikan BBM, seperti biasa terjadi pro dan kontra atas nama rakyat. Berbagai tindakan sinisme yang berujung otot-ototan antar kedua kubu pendukung pemenang dan ‘pecundang’ di pemilu presiden, beberapa kekerasan dan pembakaran di berbagai daerah, sampai aksi telanjang yang untuk melihat (walaupun dibayarpun) gue enggan.

Beberapa aksi kebodohan dan kekerasan yang gue sesalkan adalah mereka yang melakukannya atas nama rakyat namun malah menimbulkan beberapa kekacauan.

Sebenarnya apa sih definisi ‘rakyat’? Mereka yang dengan gagah bawa motor sport namun  langsung teriak, ramai-ramai berdemo, menyalahkan kebijakan dan mengaku tidak mampu jika terjadi beberapa kenaikan? Orang-orang yang ngakunya berpendidikan tapi dengan bodohnya melakukan berbagai tindakan pembakaran? Orang-orang berdasi dan rok span di atas lutut? Atau tukang nasi kucing? polisi cepek? Atau banci pengamen yang ternyata punya salon? Atau masih banyak lagi sepertinya.

Satu tahun gue bekerja membangun desa di sebuah sudut terpencil di sebuah Kota yang adem dan damai di Jawa Tengah dimana senyum dan kekeluargaan adalah hal yang murah, lalu  melakukan perjalanan dari ujung Jawa bagian Barat sampai ujung Lombok, dari ujung anyer sampai pedalaman Sade, dari pelosok desa yang jika malam tiba hanya beberapa lampu minyak yang menyala, sampai di pinggiran kota yang hanya kokok ayam penanda waktu subuh yang meredakan hingar-bingarnya . 

Banyak pelajaran dari berbagai perjalanan, seperti ada pepatah mengatakan “jalan-jalanlah, maka akan kamu lihat dunia bercerita”. Itu pepatah gue. Hehe

Gue menemukan definisi ‘rakyat’ yang sebenarnya dari perjalanan. Rakyat yang sebenarnya adalah mereka yang bertani, yang tak terasa tak mengeluh akan pecah-pecah kakinya karena jauhnya berjalan dari gubug ke ladang; mereka yang menenun, yang tak pernah berkata ‘fiuh’ ketika kaki sudah lelah mengayun; para manula yang masih menjual makanan, mainan, alat2 perabotan, berkeliling dari satu angkutan ke angkutan, mereka warga desa yang pasrah saja apapun kebijakan pemerintahan. Rakyat yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mengaku rakyat, yang begitu sangat percaya dengan pejabat-pejabat yang menjanjikan daulat. 

Namun, apakah masih ada beberapa tikus-tikus berdasi yang karena kepentingannya, rela mengorbankan harapan ‘rakyat’? Tega.

Apakah masih ada beberapa yang masih meminta, memiskinkan diri, berteriak seakan sebuah kebijakan adalah akhir dunia? Tidak bersyukur.

Kebijakan sudah dibuat, tinggal pembuktian benarkah ada ketulusan dari mereka para pembuat? Juga kesadaran dari kita sebagai pencentang pelaksanaan janji-janji atas nama rakyat.

 Masyarakat Desa, Masyarakat Kota, mari wujudkan satu senyuman yang menyenangkan

Kita Seperti LDR dengan Bangsa Sendiri

| Rabu, 26 Juni 2013


“My faith in humanity restored”.

Kalimat itu yang terlintas saat saya sedang buru-buru lalu naik tukang ojek-gondrong-bertato yang kalau di film-film dia pantasnya jadi musuh bertelanjang dada yang kepalanya bisa berasep musuhnya pendekar  yang naik elang.

Waktu itu saya naik ojek yang lumayan jauh dari kantor, dan karena sedikit gerimis dan waktu ngantor pertama harus membuat kesan baik dengan datang sepagi mungkin maka siapapun tukang ojeknya saya naik aja. Akhirnya dapatlah si mas-mas gondrong bertato itu yang saya kira bakal nyasarin atau muter dulu dengan jarak terjauh biar argonya mahal. Laaah...

Tapi seperti biasanya, seperti orang2 mainstream kebanyakan bahwa prasangka hanyalah prasangka. Pas sampai di kantor dan mau saya bayar si tukang ojek justru gak punya kembalian dan dengan senyum yang 180 derajat seremnya dibanding tatonya, dia malah mengikhlaskan dan mau cabut aja. 

Saya gak rela, saya merengek sambil  injek-injek tanah, terus saya tarik-tarik lengan bajunya yang rada kucel itu . Eh! Salah, gak pake acara beginian.

“nanti saya beliin pulsa aja ya, pak”. Itu yang saya bilang sembari mengacungkan handphone buat membiarkan dia menuliskan nomornya.

“iya pak, terima kasih banyak pak”. Sahutnya dengan senyum riang tapi palsu. Hehe asli ding.
Yah, sedikit kesan awal yang baik di kota yang katanya penuh debu polusi ini

Sebenarnya banyak kebaikan-kebaikan atau rasa kemanusiaan dalam kehidupan seperti kernet bus kota ekonomi yang masih mau mengembalikan uang yang kelebihan, orang yang baru kenal yang mau mengantar kita yang belum tahu ke tempat tujuan, nenek tua penjual nasi yang mau menggratiskan orang-orang jalanan yang kelaparan, bapak penjual mainan yang mau memberikan barang dagangannya pada anak kecil yang merengek yang orang tuanya tidak punya uang, senior-senior bersahaja di kantor yang tak pernah merasa bahwa ‘dia sudah lama maka dia yang berkuasa’, pacar yang bisa menerima apa adanya bagaimanapun masa lalu kita (oke, ini curhat ya :D) dan masiiiiiiiih banyaaaaaak lagiiiiiiiiiiiii... yang  terkadang terpinggirkan oleh kenegatifan yang di-blowup besar-besaran oleh media.

Orang-orang pun sudah mulai tidak malu untuk melakukan hal-hal yang memalukan seperti yang tadi pagi saya dengar sewaktu minum teh dan makan cemilan-cemilan ringan sebelum memulai pekerjaan bahwa ada teman kantor yang suaminya sempat mergokin seorang Polisi yang mau disuap secara terang-terangan, juga ada pula teman kantor yang pernah mendapati seorang dosen dari universitas ternama di Indonesia sedang blak-blakan jual beli nilai di salah satu Coffee Shop di salah satu mall di Jakarta... Aih! Hukum dan pendidikan seperti tercoreng....

Kita sama bangsa sendiri jadi seperti sedang menjalin hubungan LDR dimana yang bisa kita lakukan hanya percaya, berprasangka baik, dan memulai kebaikan dari diri sendiri.

Kesimpulannya ya kembali lagi bahwa di dunia ini pasti ada buruk jika ada baik, pasti ada rendah jika ada tinggi, pasti ada yang malas jika ada yang sukses, pasti pula ada kelemahan jika ada potensi. Masalahnya, sudah fokus pada yang manakah kita?
 

Hari Libur Tetap Bersyukur

| Minggu, 18 November 2012

Sudahkah kamu bersyukur hari ini?

Baru saja atau bahkan seringkali saya melihat linimasa Twitter yang berisi keluhan; justru bukan ucapan syukur atas nikmat yang didapatkan. Contohnya hari libur panjang minggu ini, banyak dari mereka yang memaknainya hanya dengan potongan-potongan kalimat "aah! Hari libur gak ngapa-ngapain!!", "duh! Hari libur kurang lama", "duh! Hari libur belum ada pacaaaar!"... LHOO! oke! Dan seterusnya!

Setiap habis hari libur pasti akan datang hari kerja. Seperti kita sedang duduk di ruang tengah rumah lalu berjalan menuju jendela terdekat untuk kita buka. Kualitas kegiatan yang kita rasakan saat kita 'duduk' akan berbanding lurus dengan perasaan bahagia saat kita 'membuka jendela'. Jika kamu masih mengeluhkan sesuatu setelah 'membuka jendela', jangan-jangan posisi kamu 'duduk' pun kurang mengenakkan. Jadi, sesebentar apapun hari liburmu tetapi jika kamu bersyukur dan menganggap semua menyenangkan, sedikitpun kamu gak akan berat hati untuk kembali memasuki hari kerja.

Seperti saat ini, saya sedang terduduk, saya mensyukuri kebahagiaan-kebahagiaan beberapa hari kemarin, juga meyakini untuk kehebatan-kehebatan hari esok. Nikmat sekali; Tuhan saya Maha Hebat.
Tuhan Maha Hebat, hebat membawa saya yang dulu menjadi saya yang seperti sekarang, juga akan lebih hebat lagi suatu hari. Sekarang, saya memang belum bisa memberi banyak, tapi saya masih belajar dan terus belajar agar kelak bisa banyak memberi. 

Saya ingat ada beberapa mimpi-mimpi yang saya tuliskan ketika dulu training ESQ sebelum UAN SMA. Mimpi-mimpi itu adalah bahwa saya ingin menjadi:
1) Seorang ayah yang sayang keluarga;
2) Seorang manusia yang berguna bagi manusia lainnya;
3) Seorang insinyur yang fenomenal;
Seingat saya, dulu pernah menuliskan 5, tapi hanya 3 yang saya ingat dengan jelas. Sisanya saya tulis pada saat ini.
4) Seorang developer yang berperan dalam pembangunan dan cinta lingkungan;
5) Seorang direktur yang mampu mengarahkan banyak orang, bukan menyalahkan.

Tuhan benar-benar Maha Hebat, kan? Iya, asal kita percaya.
Lihat saja, saya dulu menulis keinginan nomor 1, kemudian Tuhan menganugerahi saya sebuah keluarga yang penuh kasih sayang, memberi banyak pelajaran dari tiap belaian. Karena semua berawal dari keluarga, itu semua akan saya bawa kelak ketika berkeluarga. Saya menulis nomor 2, kemudian Tuhan memberi saya kemampuan untuk cepat belajar, menganugerahi saya teman-teman yang luar biasa, membuat saya mengerti arti saling mengisi dan melengkapi. Saya menulis nomor 3, bahkan sebelum saya tahu saya mau masuk jurusan apa di Perguruan Tinggi. Sekarang, saya telah dianugerahi gelar Sarjana Teknik. Ya, seorang insinyur, kawan!


Saya percaya bahwa keajaiban dari berani bermimpi adalah adanya hal-hal menakjubkan yang Dia tunjukkan dalam perjalananmu menggapainya. Saya hanya tinggal percaya, Tuhan akan mengerjakan sisanya; mimpi nomor 4 dan 5.

Bersemangatlah! Yang bekerja, sudah ditunggu penerapan ilmu dan penyerapan tenaganya untuk negara. Yang sekolah, sudah ditunggu beribu-ribu ilmu untuk nantinya diterapkan.

Jadi, sekarang jangan kebanyakan 'duduk', bisa bikin encok sama pegel-pegel katanya. Hehe.


Pertama Kali, Kini, dan Mimpi untuk Nanti.

| Rabu, 15 Agustus 2012


Segala sesuatu yang pertama kali itu identik dengan sesuatu yang kita cari sendiri cara untuk menjalaninya. Seperti halnya sekolah pertama kali, pacaran pertama kali, kuliah pertama kali, atau bahkan apa saja hal-hal yang kita lakukan pertama kali. Ternyata dari semua itu, kita semua punya yang namanya ‘naluri’, untuk melakukan sesuatu yang memang baru pertama kali lalu menuliskan adaptasi dan menyimpannya dalam memori otak kita. Intinya yang pertama kali itu bikin bingung. Makanya saya memilih bercerita sejak pertama kali kuliah hingga saat ini di sini daripada terlalu memusingkan laporan Tugas Akhir tentang metode pertama kali di Indonesia.

Sejak dulu pertama kali menginjak bangku kuliah hingga sekarang sudah mau menginjak mimbar wisudawan, sebenarnya sudah banyak cerita, suka, dan duka tertoreh. Ada banyak nilai-nilai ilmu hingga nilai persahabatan. Mulai dari saya yang belum mengenal apa itu teknik sipil hingga sebentar lagi dituntut tanggung jawabnya untuk menerapkan ilmunya kepada masyarakat sipil.

Ngomong-ngomong soal perkuliahan anak Teknik sipil, sebenarnya bisa dibilang susah-susah tapi mudah, dan tetap semua tergantung pada niat dan motivasi diri masing-masing. Buktinya, sudah ada teman-teman saya yang tumbang perihal kesetiaan, kesetiaan pada fakultas dengan alasan macam-macam. Saya juga tak yakin mereka adalah orang yang setia juga pada pasangannya. Hahaha.

Kuliah di jurusan teknik sipil itu emang banyak yang bilang jurusan paling sulit dari semua jurusan, mulai dari tugas kecil hingga tugas besarnya. Tugas besar adalah tugas yang wajib dikerjakan dan menjadi beban di tiap semesternya. Semua bidang teknik sipil mulai dari transportasi, struktur, sumber daya air, hingga manajemen proyek semuanya tercakup dalam tugas besar tersebut. Tugas besar ini mungkin yang menjadi hal paling berat, yang walaupun dijalani sebenarnya sih aman terkendali aja. *naikin kerah*

Saya merenung dan saya menyadari, sebenarnya masih sedikit ilmu yang saya dapatkan dibanding lamanya masa perkuliahan. Tapi keinginan untuk sukseslah yang membuat saya ingin tetap belajar. Keinginan untuk bekerja sebelum membuka lahan pekerjaan, insya Allah. Keinginan untuk merealisasikan mimpi. Mimpi bekerja di perusahaan kontraktor ternama walaupun sebenarnya lapangan kerja bagi lulusan teknik sipil sangat luas. Mimpi untuk menjadi kaya lalu mengayakan Indonesia. Mimpi untuk bisa membantu siapapun orang yang membutuhkan. Mimpi yang dibangun bersama kawan sejati, kawan seperjuangan dalam Kerja Praktek. Kawan yang rela menyamarkan namanya demi sebuah kehadiran asistensi, kawan yang rela mengucurkan keringatnya walau bukan demi nama kelompoknya, kawan yang benar-benar bisa disebut kawan. Namun, dia telah lebih dulu dipanggil Tuhan. Kami yakin, kamu pasti kelak ditempatkan di Surga-nya kawan. 

Di sini, di kampus ini banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang tersematkan, juga bermacam-macam karakter orang. Saya jadi mengerti tentang pentingnya kebersamaan, sebuah kebersamaan yang jika kita punya uang kita bantu mereka yang kekurangan, begitu sebaliknya. Sebuah kebersamaan yang membuat kita tak pernah merasa kekurangan, sungguh. Sebuah kebersamaan yang jika demi tugas salah satu begadang, maka yang lain juga demikian. Sebuah kebersamaan yang indah, dan keren. Saya bersyukur punya teman-teman yang begitu loyal, begitu setia kawan, begitu peka terhadap sesama, begitu tak bisa diam berpangku tangan jika yang lain butuh bantuan. Mereka pasti kelak adalah sosok-sosok yang akan saya rindukan, saat kita semua sudah berkeluarga dengan anugerah anak-anak yang lucu yang akan jadi penerus kaya dan tawa kami juga.

Sekarang, yang menjadi keinginan terdekat kami mungkin hanya satu. Angkatan 2008 menjadi para wisudawan dan wisudawati angkatan ke-64. Doa dan usaha siang malam yang sedang kami kerjakan. Semoga hal itu akan menjadi pohon bagi buah yang paling manis, yaitu wisuda pada waktunya. Amien ya Robbal alamiin.

Keringat untuk Menghasilkan Keringat

| Selasa, 01 Mei 2012
May Day... May Day...
Sejak pagi saat mentari mulai menampakkan diri, muncul berbagai teriakan-teriakan menyebarkan kata-kata tersebut. Yang gue tahu istilah 'May Day' adalah semacam kata ganti bagi peringatan Hari Buruh Internasional yang diperingati tiap tanggal 1 Mei. Sejarahnya pada tahun 1800-an berawal dari unjuk rasa besar-besaran di Amerika Serikat dimana para pekerja menuntut untuk dipekerjakan hanya 8 jam sehari (pada masa itu kerja mereka bisa sampai 20 jam sehari). Tiga tahun setelah terjadinya unjuk rasa yang memakan banyak korban para pekerja, maka melalui sebuah kongres di Paris, tanggal 1 mei ditetapkan menjadi Hari Buruh Internasional.

Di kamar yang cukup luas berwarna dinding dominan hijau, yang dipojokannya berdiri perabotan-perabotan jaman dulu, lalu di satu sisi dinding tergantung cermin vintage polesan ulang yang masih kinclong, beserta di salah satu sisi pojokan terdapat dua meja. Satu tempat PC dengan monitor jaman SMP yang masih bisa diandalkan sampai sekarang, dan satu lagi meja kosong untuk sandaran laptop lengkap dengan koneksi LAN. Disinilah gue menghabiskan banyak waktu saat pulang melepaskan diri dari penatnya perkuliahan dan kehidupan perkotaan di Semarang, yang walau sedikit rumit tetep gue cinta tiap jengkal kerumitannya. Ironisnya, sejak pagi hanya dari layar kecil pemberi informasi, BlackBerry, saja gue sesekali memantau informasi 1 Mei. Kelenjar ingus yang sedang giat berproduksi juga berkontribusi dalam kemalasan hari ini. Dan di kamar gue gak ada TV memang. Gue selalu streaming terutama kalo nonton bola, karena internet sungguh bisa diandalkan.

Dilihat dari sejarah May Day sendiri, para buruh identik dengan kerja yang begitu berat dan dengan upah yang tak sebanding dengan pekerjaannya. Di linimasa Twitter, seperti halnya masalah tahun-tahun sebelumnya, yang belum terselesaikan, para buruh meminta gaji yang layak. Karena kebutuhan mereka bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga anak istri. Memang kita semua bisa memilih mau jadi apa kita dengan pekerjaan yang kita miliki. Namun, tidak semua pohon juga menghasilkan bisa buah, tetap ada yang jadi pengusaha tetap ada pula yang jadi pegawainya. Dan saya rasa, syarat keduanya sederhana, saling melengkapi dan memenuhi. Buruh sudah sulit seharusnya tak perlu dipersulit, apalagi ditambah berbagai isu menyedihkan yang menggambarkan kebobobrokan negeri ini.

Namun yang mencengangkan, dibalik penggembar-gemboran kesetaraan masih saja perbedaan kelas-kelas di suatu tempat tertentu. Kemarin sewaktu mengantar temen gue untuk check-up di salah satu rumah sakit, di lobi bangku ruang tunggu gue duduk. Disana ada bermacam-macam orang dengan macam-macam permasalahan kesehatan yang ingin disembuhkan. Gue duduk tepat di depan loket registrasi dan pembayaran. Terlihat seorang ibu dengan raut wajah risau dan gelisah mondar mandir, dia bersama satu anak perempuan belia dan satu balita yang digendong neneknya. Kemana suaminya? ikut persiapan demo mungkin?

Terdengar jelas sekali perbincangan ibu tersebut dengan salah satu pegawai rumah sakit, dimana intinya dia harus meng-opname balita tersebut sedangkan ruang yang tersedia hanya ruang kelas 1. Ibu itu makin panik, gue hanya gak tega dan sesekali mengelus dada untuk berdoa untuknya. Sesekali gue melihat ke balita yang digendong neneknya tersebut, dia menghadap ke belakang sementara neneknya menggoyang-goyangkan badan dan sesekali menepuk-nepuk pantat kecilnya. Dia terdiam lucu, sesekali memandang gue dengan mata nanar berbinar. Gue tersenyum, dia tetap diam lugu dengan mata tetap berbinar, gue yakin matanya memantulkan kesembuhan untuknya kelak.

Mendadak gue jadi tahu gimana perasaan menjadi seorang ayah. Seorang yang berusaha memilin tulang dan otot dengan perasan keringat hanya untuk kebahagiaan anaknya. Kelak, gue merasa juga akan punya seorang gadis kecil, yang di pagi hari nanti gue ikatkan tali sepatunya pada hari pertama dia sekolah, yang mencium tangan sebelum melangkahkan kaki kecilnya ke dunia yang baru, yang ketika dalam malam yang sama gue pulang dia bergegas menghampiri, dan bilang kepada kamu “Ibu, ayah pulang!”.

Ketika anaknya sakit, seorang ayah baik itu buruh atau pengusaha, bisa jadi memeras keringat untuk menghasilkan keringat. Jadi, kita harus benar-benar menghargai mereka. Mereka bekerja untuk membayarkan biaya pengobatan anaknya hingga sembuh. Memeras keringat untuk menghasilkan keringat anaknya, karena kata nenek gue dulu sewaktu gue sakit lalu berkeringat, tandanya akan sembuh. Kata orang dulu pula, ketika dulu waktu kecil kita sakit itu adalah tanda bahwa kita akan beranjak dewasa. Orang dulu memang aneh, tapi kadang ada benarnya. Karena, untuk menjadi dewasa, kita harus merasakan 'sakit' terlebih dahulu. Dengan begitu, atas pelajaran yang diperoleh, kita cenderung untuk menyayangi, bukan menyakiti serta membenci.

Dibalik mereka, para ayah yang memeras keringat untuk menghasilkan keringat, kita kadang justru malas untuk berkeringat. Melangkah untuk mengganti saluran TV tanpa bantuan 'remote', melangkah hanya untuk beli sesuatu di luar rumah, melangkah sejenak ke tetangga mengabarkan keadaannya, dan langkah-langkah kecil yang kita tinggalkan. Seakan kemajuan teknologi sudah mengganti langkah-langkah nyata kita. Ketika langkah kecil berkeringat saja kita sudah enggan melakukan, bagaimana nanti ketika kita sudah melangkah di luar yang mengharuskan kita untuk melakukan langkah-langkah besar demi hal-hal yang besar?

Oh iya, selang setelah sekitar setengah jam kemudian doa ibu itu di dengar. Si balita kecil bermata nanar tersebut sudah dipasang diberi suntikan dan cairan infus pada lengan kecilnya. Si ibu menggendong dia bersama seorang perawat rumah sakit menuju kamar inap untuk si balita.
Semoga cepat sembuh ya, nak. Cepat berkeringat.




 

Copyright © 2010 WAKE UP AND SEE